CARI DI SINI

Kamis, 07 Januari 2010

KERAJINAN DARI LIMBAH TULANG



Dua tahun lalu Beni menjadi korban pemutusan hubungan kerja massal. Ia lalu mencoba beternak lele. Ketika tengah menguras kolam untuk panen, Beni dan rekannya menemukan tumpukan tulang ikan dan ayam, sisa pakan lele. Tiba-tiba muncul ide di kepalanya. Tulang belulang yang sering kali dianggap orang tak berharga itu mereka ubah menjadi sepeda ontel, naga, motor besar, sampai becak.

Kerajinan dengan bahan baku tulang belulang pula yang membuat laki-laki bernama lengkap Beni Tri Bawono ini mengikuti berbagai pameran kerajinan, di antaranya di Yogyakarta dan Jakarta.

Dalam berbagai pameran itu, miniatur sepeda ontel, monster, sepeda motor gede atau moge seperti Harley Davidson, becak, dan kapal layar diberi harga sekitar Rp 1 juta. Adapun kerajinan berbentuk naga yang panjangnya lebih dari satu meter ditawarkan sekitar Rp 10 juta. Harga yang relatif tinggi, menurut Beni, merupakan bagian dari penghargaan atas kreativitas mencipta.

Bahan baku utama kerajinan itu dari tulang belulang ”gratisan” yang sebagian merupakan limbah warung makan di sekitar rumahnya. Bahan baku kerajinan itu tak hanya tulang ayam, tetapi juga tulang ikan dan tulang bebek. Sebagian besar tulang itu tidak dibentuk sesuai kebutuhan, tetapi kreativitaslah yang disesuaikan dengan bentuk tulang-tulang yang tersedia.

Sadel untuk sepeda ontel, misalnya, dibuat dari potongan punggung ayam, ban sepeda dari leher ayam yang dibentuk melingkar. Jeruji dibuat dari patahan tulang sayap, sedangkan kemudi sepeda dari tulang bebek. Ini yang menyebabkan pembuatan kerajinan seperti sepeda onthel bisa memakan waktu 10-15 hari, sementara untuk membuat naga yang lebih rumit diperlukan waktu hampir empat bulan.

Proses pembuatan kerajinan itu diawali dengan membersihkan tulang dari sisa-sisa daging. Untuk menghemat tenaga, hasil berburu tulang pada malam hari di warung-warung makan itu dia lemparkan ke kolam lele di belakang rumahnya. Setelah tiga hari, tulang itu diangkat dan direndam dalam air berformalin selama sehari semalam. Tulang-tulang itu kemudian dijemur hingga berwarna putih kering sambil sesekali disemprot formalin.

Tulang yang sudah benar-benar kering lalu mulai direkatkan dengan lem, sesuai dengan ide bentuk benda yang muncul. Setelah jadi, sebagai sentuhan akhir, rangkaian itu disemprot dengan cairan pembersih dan disapu dengan pewarna mutiara. Untuk memberi nilai tambah pada produknya, kerajinan itu dimasukkan ke dalam bingkai kaca.

”Kaca bingkainya juga kami potong sendiri dan sengaja dibentuk agar bisa dibuka. Ini supaya orang mudah membersihkannya, cukup disemprot cairan pembersih supaya awet. Asal tidak berada di tempat lembab, kerajinan ini bisa tahan lama,” kata Beni yang tinggal di Kelurahan Kebonbimo, Kecamatan Boyolali, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah.

Andil rekan

Kreativitas membuat kerajinan tulang yang diberi label nama Boneart-Tlatar itu tak terlepas dari andil teman mainnya sejak kecil, Parmono atau Mono (27), panggilannya. Tentang nama merek produknya itu, kata Beni, ”boneart” untuk menggambarkan kerajinan ini terbuat dari tulang belulang. Adapun ”Tlatar” adalah tempat kelahirannya.

Mono membantu Beni mengurus 13 kolam lele di belakang rumahnya. Memelihara lele adalah usaha yang dijalani Beni untuk menyambung hidup setelah terkena PHK massal dari pabrik tekstil di Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang, akhir tahun 2007.

Pada awal tahun 2008, Beni dan Mono mulai memanen lele. Setelah menguras habis air kolam, di tepian kolam teronggok tumpukan tulang-tulang sisa pakan tambahan lele. Mono melihat kepala ayam yang sudah menjadi kerangka. Entah mengapa, ketika itu imajinasinya melayang, membayangkan kepala ayam itu seperti kepala monster. Hari itu juga Mono dibantu Beni mencoba membentuk sosok monster yang tergambar dalam benak mereka.

Hasilnya ternyata lumayan unik meski masih sederhana. ”Monster” itu lalu dipajang di ruang tamu rumah Beni. Beberapa kenalannya yang melihat ”monster” berbahan tulang sisa pakan lele itu tertarik dan memesan produk serupa.

Merasa ada peluang, jiwa bisnis Beni muncul. Dia mengajak Mono membuat lebih banyak kreasi hingga kemudian hasil karya mereka juga diketahui dinas usaha kecil dan menengah setempat. Mereka kemudian diajak ikut pameran ke berbagai tempat dan kota.

”Sewaktu pameran di Yogyakarta, kami sudah mendapat pesanan meski jumlahnya relatif kecil. Namun, karena ini produk kerajinan tangan, memang tak bisa langsung dikerjakan dalam waktu cepat,” katanya.

Duet Beni dan Mono lalu mencoba mengembangkan bentuk selain sosok monster. Mereka mencoba membuat sesuatu yang lebih menantang. Namun, Mono memutuskan untuk berhenti dua bulan lalu. Maka, Beni bekerja sendiri meneruskan usaha kerajinan berbahan baku tulang belulang itu.

Tawaran lewat ”blog”

Meski bisa dikatakan unik, kata Beni, pemasaran produk kerajinan tulang ini masih tertatih-tatih. Ia baru bisa berharap dari pameran ke pameran. Dia masih enggan menawarkan kerajinan tulang itu melalui galeri seni.

”Saya berencana membuat galeri sendiri di rumah, tetapi masih belum terwujud karena terkendala modal. Untuk membuat karya yang dipamerkan di Jakarta saja, saya sudah habis-habisan. Uang dari hasil menjual lele nyaris semuanya dipakai untuk modal membuat kerajinan,” tuturnya sambil menunjukkan belasan kerajinan tulang.

Untuk mengatasi masalah pemasaran, sekitar sebulan lalu Beni dibantu sepupunya mencoba menggunakan jejaring internet. Dia membuat blog yang berisi foto-foto dan narasi singkat tentang kerajinan tulang produknya dalam www.boneart-tlatar.blogspot.com. Namun, media ini masih sangat sederhana, baik tampilan maupun isinya.

”Saya tetap merasa kerajinan ini unik dan bernilai tinggi. Saya berharap setelah pemasarannya bisa lebih luas, saya bisa mengajak orang-orang di kampung untuk ikut membuatnya. Sepanjang ada kreativitas, pasti ada jalan,” ungkapnya optimistis.(Antony Lee)

Sumber: Kompas Cetak

ES SARI TEBU


Tebu merupakan tanaman yang cocok dibudidayakan di daerah tropis seperti di Indonesia. Sehingga, di beberapa wilayah di negeri ini sering kita jumpai kebun tebu dari yang skala kecil hingga yang luasnya berhektar-hektar. Maraknya pembudidayaan tebu tersebut dikarenakan kandungan gulanya sangat tinggi sehingga dijadikan bahan baku utama pembuatan gula pasir. Selain diolah menjadi salah satu kebutuhan pokok masyarakat berupa gula, tebu juga dapat dinikmati secara langsung dengan cara menggiling kemudian mengambil sarinya menggunakan alat giling sederhana.

Es sari tebu, begitulah kebanyakan orang menyebut minuman segar yang didapat dari menggiling tebu dan diambil sarinya. Es sari tebu tersebut merupakan minuman alami yang proses pembuatannya sangat sederhana. Hanya dengan cara menggiling atau memeras batang tebu hingga keluar sarinya.

Usaha minuman alami seperti sari tebu tersebut semakin ramai dilirik orang, banyak ide-ide kreatif muncul dari minuman yang lebih dikenal orang dengan es tebu tersebut, mulai dari menjual sari perasan tebu yang hanya satu kali, menambahkan dengan lemon, jahe, bahkan inovasi terbaru adalah memadukan sari tebu dengan ramuan herbal yang bermanfaat bagi kesehatan.

Membuka usaha es sari tebu tersebut kebanyakan dijalankan dengan system waralaba atau bagi hasil. Hal tersebut membuktikan peluang usaha ini cukup besar sekaligus tantangan untuk menjalankannya. Meskipun pada faktanya, untuk mendapatkan batang tebu sebagai bahan baku pembuatan es tersebut cukup sulit. Namun, di beberapa daerah seperti di Jawa Timur, Yogyakarta, dan Sumatera produksi tanaman tebu tersebut cukup melimpah.

Mencari lokasi untuk berjualan es sari tebu tersebut juga tidaklah sulit. Kebanyakan para penjual es tersebut menjual produk mereka di pinggir jalan yang ramai. Lokasi lain yang juga cukup potensial adalah di sekitar mall atau pusat perbelanjaan. Bahkan, ada beberapa penjual yang memanfaatkan mobil pick up untuk menjajakan barang dagangannya. Hal tersebut cukup menguntungkan karena mudah berpindah dari satu tempat ke tempat yang lainnya yang dianggap potensial.

Untuk perlengkapan yang digunakan dalam memulai usaha ini antara lain mesin penggiling atau pemeras tebu, termos es untuk menyimpan potongan batang tebu dan es batu, gelas plastik dan sedotan, kemudian pisau dan golok untuk memotong/ mengerok tebu. Dan untuk mesin penggilingnya tadi menggunakan listrik atau genset.


Resiko untuk membuka usaha ini juga tergolong kecil, karena bahan baku tebu cukup tahan lama. Sebelum dikerok, batang tebu tahan hingga satu minggu. Dan setelah dikerok, tahan selama dua hari. Persaingan dalam usaha ini juga tidak terlalu ketat karena masih banyak lokasi strategis yang belum ditempati penjual minuman ini.

Tips dan trik dalam menjalankan usaha ini, antara lain:

1. Menggunakan tebu berkualitas

Batang tebu yang berkualitas antara lain memiliki diameter batangnya besar, kandungan airnya tinggi, dan rasa manisnya pas.

2. Membuat inovasi tambahan rasa

Kebanyakan penjual es sari tebu menjual produk mereka hanya dengan tambahan es batu saja. Agar konsumen tidak bosan, sebaiknya Anda membuat variasi misalnya dengan menambahkan potongan daging kelapa muda, perasan jahe, atau perasan lemon.

3. Jeli Memilih Mesin Penggiling

Mesin giling tersebut membutuhkan biaya terbesar dalam usaha ini. Harganya Rp. 3.000.000, 6.500.000 hingga puluhan juta tergantung dengan ukuran dan kapasitasnya. Sebagai contoh anda bisa memesan mesin es sari tebu di http://www.mesinindustri.com/Mesin_Pemeras_Tebu_Mesin_Giling_tebu_Mesin_Penggiling_Tebu.html Sebelum memutuskan membeli, Anda sebaiknya mencari informasi sebanyak-banyaknya dan teruji ketahanannya. Perhatikan juga daya listrik yang diperlukan dan tingkat kebisingan mesin tersebut.

Analisa Ekonominya:
a. Biaya investasi
Mesin penggiling tebu Rp.6.500.000 (kita ambil contoh harga tengahnya saja)
Termos es 2 buah Rp. 150.000
Spanduk Rp. 200.000
Pisau dan golok Rp. 150.000
Total investasi Rp.7.000.000
b. Biaya operasional Per bulan
1. Biaya tetap
Penyusutan mesin 1/60 x Rp. 6.500.000 Rp. 108.300
Penyusutan termos es 1/36 x Rp. 6.500.000 Rp. 4.200
Penyusutan spanduk 1/24 x Rp.200.000 Rp. 8.300
Penyusutan pisau dan golok 1/36 x Rp. 150.000 Rp. 4.200
Sewa tempat Rp. 300.000
Gaji karyawan Rp. 800.000
Total biaya tetap Rp. 1.225.000
2. Biaya variabel
Batang tebu (12 kg x Rp. 2.500/kg/ 30 hari) Rp. 900.000
Gelas plastic dan sedotan (Rp.8000 x 30 hari) Rp. 240.000
Listrik, air, dan kemanan Rp. 700.000
Total biaya variabel Rp. 1.210.000
Total biaya opeasional Rp. 2.435.000
c. Penerimaan per bulan
Penjualan es sari tebu 50 gelas/ hari x Rp.3.000/ gelas
X 30 hari Rp. 4.500.000
d. Keuntungan per bulan
Keuntungan = total penerimann-total biaya operasional
= Rp. 4.500.000 – Rp. 2.435.000
= Rp. 2.065.000
e. Pay back Period
Pay back period = (Total biaya investasi : keuntungan)
X 1 bulan
= (Rp. 7.000.000 : Rp. 2.065.000) x 1 bulan
= 3, 4 bulan

Selasa, 05 Januari 2010

Salam Kenal

Nama saya Wiwin Cahyono, pria dengan kulit hitam lahir di Bojonegoro - Jawa Timur pada 4 September 1979. Pendidikan terakhir saya di Fakultas Teknik Universitas Dr. Soetomo (Drop Out) tahun 2004 dan saat ini saya tinggal di bawah naungan rumah mertua saya (karena istri saya anak terakhir) yang beralamat di Blitar.

Mengenai pekerjaan, karena saya tidak menamatkan pendidikan S-1 dan ijazah SMA kurang dihargai lagi maka saya memutuskan untuk berwiraswasta. Usaha saya bergerak di bidang gula merah. Panjang sekali ceritanya menemukan pekerjaan yang hingga sampai saat ini saya tekuni. Perjalanan mencari sesuap nasi pernah saya tempuh dari Yogyakarta, Surabaya, Bali, Madura, Lombok, Sumbawa dan banyak lagi kota yang pernah saya singahi hingga akhirnya saya eksis di Gula Merah, tapi bukan berarti saya tidak melirik peluang usaha lainnya.

Di Blog ini, saya akan berbagi ulasan mengenai Peluang Usaha Nusantara. Saya akan memberi ulasan, cara kerja, bagaimana memulainya, sampai pada bagaimana anda bisa mendapatkan informasi lengkap untuk berhubungan dengan orang-orang terkait di dalamnya.  

OK, segitu aja dulu. Tunggu aja postingan saya.... yang senantiasa akan selalu up to date.

Bravo Peluang Usaha Nusantara...